Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

 

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

 



Pada masa globalisasi, perusahaan begitu memerlukan sumber daya manusia yang mempunyai tingkat ketrampilan spesifik juga mempunyai kemampuan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta berakhlak mulia yang bisa diraih lewat pendidikan. Pendidikan berpartisipasi membina keselamatan serta kesehatan kerja tiap-tiap individu hingga bisa membuat pribadi yang baik.

Instrumen yang memproteksi pekerja, lingkungan hidup, perusahaan, serta orang-orang sekitaran dari bahaya karena kecelakaan kerja di sebut dengan Keselamatan serta kesehatan kerja (K3). Perlindungan itu adalah hak asasi yang harus dipenuhi oleh perusahaan.

K3 mempunyai tujuan menghindar, kurangi, bahkan juga menihilkan resiko kecelakaan kerja (zero accident). Penyakit karena kerja yang menggunakan banyak cost (biaya) perusahaan, sehingga aplikasi rencana ini tidak bisa dipandang jadi usaha mencegah kecelakaan kerja, tetapi mesti dipandang jadi bentuk investasi periode panjang yang berikan keuntungan yang berlimpah pada saat mendatang.

Pada awal revolusi industri, K3 belum juga jadi sisi integral dalam perusahaan. Pada masa in kecelakaan kerja cuma dipandang jadi kecelakaan atau kemungkinan kerja (personal risk), bukanlah tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan rencana common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (peran kelalaian), fellow servant rule (ketetapan kepegawaian), serta risk assumption (anggapan kemungkinan) (Tono, Muhammad : 2002).

Lalu rencana ini berkembang jadi employers liability yakni K3 jadi tanggung jawab entrepreneur, buruh/pekerja, serta orang-orang umum yang ada diluar lingkungan kerja. Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sesungguhnya telah ada mulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. Umpamanya, pada 1908 parlemen Belanda menekan Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang diikuti dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Th. 1910. Setelah itu, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan sebagian product hukum yang memberi perlindungan untuk keselamatan Kerja serta kesehatan kerja yang ditata dengan terpisah berdasar pada semasing bidang ekonomi.

Sebagian salah satunya yang menyangkut bidang perhubungan yang mengatur jalan raya perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Ketentuan umum mengenai pendirian serta perusahaan Kereta Api serta Trem untuk jalan raya umum Indonesia) serta Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Ketentuan Keamanan Kerja di Pabrik serta Tempat Kerja), dsb.

Kepedulian Tinggi Pada awal jaman kemerdekaan, segi K3 belum juga jadi gosip strategis serta jadi sisi dari problem kemanusiaan serta keadilan. Hal semacam ini bisa dipahami karna Pemerintahan Indonesia tetap dalam masa transisi pengaturan kehidupan politik serta keamanan nasional.

Disamping itu, gerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah serta swasta nasional K3 baru jadi perhatian paling utama pada th. 70-an searah dengan makin ramainya investasi modal serta pengadopsian tehnologi industri nasional (manufaktur). Perubahan itu mendorong pemerintah lakukan regulasi dalam bagian ketenagakerjaan, termasuk juga penyusunan problem K3.

Hal semacam ini tertuang dalam UU No. 1 Th. 1070 mengenai Keselamatan Kerja, sedang ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan terlebih dulu seperti UU Nomor 12 Th. 1948 mengenai Kerja, UU No. 14 Th. 1969 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Tenaga Kerja tidak menyebutkan dengan eksplisit rencana K3 yang digolongkan jadi etika kerja. Tiap-tiap tempat kerja atau perusahaan mesti melakukan program K3.

Tempat kerja disebut berdimensi begitu luas meliputi semua tempat kerja, baik di darat, didalam tanah, di permukaan tanah, di air, di udara ataupun di ruangan angkasa.

Penyusunan hukum K3 dalam konteks diatas yaitu sesuai sama bidang/sektor bisnis. Umpamanya, UU No. 13 Th. 1992 mengenai Perkerataapian, UU No. 14 Th. 1992 mengenai Lantas Lintas serta Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Th. 1992 mengenai Penerbangan bersama beberapa ketentuan proses yang lain.

Terkecuali sekor perhubungan diatas, regulasi yang terkait dengan K3 juga didapati dalam beberapa bidang beda seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan sebagainya. Di masa globalisasi sekarang ini, pembangunan nasional begitu erat dengan perubahan bebrapa gosip global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, serta buruh. Persaingan perebutan global bukan sekedar hanya kwalitas barang namun juga meliputi kwalitas service serta layanan.

Banyak perusahaan multinasional cuma ingin berinvestasi di satu negara bila negara berkaitan mempunyai kepedulian yang tinggi pada lingkungan hidup. Juga kepekaan pada golongan pekerja serta orang-orang miskin. Karenanya bukanlah tidak mungkin bila ada perusahaan yang perduli pada K3, meletakkan ini pada posisi pertama jadi prasyarat investasi.

Jadi satu diantara tubuh PBB yang konsentrasi pada problem pekerja di semua dunia adalah ILO (International Labour Organization), mengatakan 6 kenyataan sekitar Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) yang perlu di perhatikan yakni :

  1. Setiap tahunnya sekitaran 24 juta orang wafat karna kecelakaan serta penyakit di lingkungan kerja termasuk juga didalamnya 360. 000 kecelakaan fatal serta diprediksikan 1, 95 juta dikarenakan oleh penyakit fatal yang muncul di lingkungan kerja.

  2. Hal itu bermakna kalau pada akhir th. nyaris 1 juta pekerja alami kecelakaan kerja serta sekitaran 5. 500 pekerja wafat karena kecelakaan atau penyakit di lingkungan kerja c. 25 Trilyun dari Global Gross Domestic Product (GDP) atau dalam pojok pandang ekonomi, 4% atau sejumlah USD 1, dialokasikan utuk cost dari kehilangan saat kerja karena kecelakaan serta penyakit di lingkunga kerja, kompensasi untuk beberapa pekerja, terhentinya produksi, serta bebrapa cost penyembuhan pekerja.

  3. Potensi bahaya kecelakaan kerja diprediksikan mengakibatkan 651. 000 angka kematian, terlebih di Negara-Negara berkembang. Bahkan juga angka itu mungkin saja bisa semakin besar sekali lagi bila system pelaporan serta notifikasinya tambah baik.

    Data dari beberapa Negara-Negara Industri tunjukkan kalau beberapa pekerja konstruksi mempunyai potensi wafat karena kecelakaan kerja 3 hingga 4 kali semakin besar.

  4. Penyakit paru-paru yang terjangkit pada beberapa pekerja di perusahaan minyak & gas, pertambangan, serta perusahaan perusahaan semacam, jadi karena paparan asbestos, batu bara serta silica, masih tetap jadi perhatian di negara negara maju serta berkembang. Bahkan juga kematian karena kecelakaan kerja dari paparan Asbestos saja telah menjangkau angka 100. 000 serta senantiasa jadi bertambah tiap-tiap tahunnya. (www. lorco. co. cc)

  5. Angka Keselamatan serta Kesehatan Kerja (K3) perusahaan di Indonesia pada umumnya nyatanya masih tetap rendah. Berdasar pada ILO, Indonesia menempati posisi ke-26 dari 27 negara. Diprediksikan cuma 2% saja dari 15. 000 lebih perusahaan besar di Indonesia yang telah mengaplikasikan System Manajemen K3.

Komentar